Mungkin ini adalah pertemuan dan dialog sakral yang mencerahkan sekaligus mengagumkan, yang dialami oleh Prof. DR. H. Kadirun Yahya, Msc – seorang angkatan 1945, ahli sufi, ahli fisika dan pernah menjabat sebagai rektor Universitas Panca Budi, Medan – dengan Presiden RI pertama Ir. Soekarno. Ia bersama rombongan saat itu diterima di beranda Istana Merdeka (sekitar bulan Juli 1965) bersama dengan Prof. Ir. Brojonegoro (alm), Prof. dr. Syarif Thayib, Bapak Suprayogi, Pak Sucipto, Kapolri, Duta Besar Belanda.




"Wah, pagi-pagi begini saya sudah dikepung oleh 3 Profesor” kelakar Ir. Soekarno membuka dialog ketika menemui rombongan Prof. Kadirun Yahya beserta rombongan. 



Kemudian Presiden Soekarno mempersilakan rombongan tamunya untuk duduk.“ProfesorKadirun Yahya silakan duduk dekat saya”, pinta Bung Karno kepada Prof. Kadirun Yahya.



 "Saya dengar tentang engkau sudah sejak 4 tahun, tapi baru sekarang aku ketemu engkau, sebenarnya ada sesuatu yang akan aku tanyakan padamu" kata Bung Karno. 



"Ya, tentang apa itu Bapak Presiden…?”



“Tentang sesuatu hal yang sudah kira-kira 10 tahun, saya cari-cari jawabannya, tapi belum ketemu jawaban yang memuaskan. 

Saya sudah bertanya pada semua ulama dan para intelektual yang saya anggap tahu. 
Tetapi semua jawabannya tetap tidak memuaskan saya.” 



“Lantas soalnya apa bapak Presiden?”



 “Saya bertanya tentang “Bagaimana agar kita dapat berhubungan dengan Allah?” Tanya Bung Karno.



Profesor Kadirun Yahya pun lanjut menjawabnya. “Dengan mendapatkan frekuensi-Nya. 

Tanpa mendapatkan frekuensi-Nya tak mungkin ada kontak dengan Allah.”


“Lihat saja, walaupun 1 Meter jaraknya dari sebuah Stadiun radio, kita Stel radio dengan frekuensi yang tidak sama, maka radio kita itu tidak akan mengeluarkan suara dari stasiun radio tersebut. 

Begitu juga dengan Allah, walaupun Allah berada lebih dekat dari kedua urat leher kita, tak mungkin ada kontak dengan-Nya jika frekuensi-Nya tidak kita dapati”, jelasnya.


“Bagaimana agar dapat frekuensi-Nya, sementara kita adalah manusia kecil yang serba kekurangan ?” tanya Bung Karno kemudian.



“Melalui dada Rasulullah” lanjutnya.Prof membaca QS.Al-Hijr :29, Artinya "Maka setelah Aku sempurnakan dia dan Aku tiupkan di dalamnya sebagian rohKu, rebahkanlah dirimu bersujud kepadaNya”.

Nur Ilahi yang terbit dari Allah sendiri adalah tali yang nyata antara Allah dengan Rasulullah. Ujung Nur Ilahi itu ada dalam dada Rasulullah. 
Ujungnya itulah yang kita bisa hubungi, maka kita akan dapat frekuensi dari Allah SWT”, kata Prof.Prof melanjutkan.



“Lihat saja sunnatullah, cahaya matahari saja yang satu-satunya sampai pada matahari. 

Tak ada yang sampai pada matahari melainkan cahayanya sendiri. 
Juga gas-gas dan saringan-saringannya tak ada yang sampai ke matahari seperti : Xenon, Crypton, Argon, Helium, Hydrogen dan lain-lain. Semua tidak sampai yang sampai pada matahari hanya cahayanya karena ia muncul dari matahari dan tak terpisah siang dan malam dengannya. 



Kalaulah matahari umurnya 1 (satu) juta tahun, maka cahayanyapun akan berumur sejuta tahun pula. 

Kalau matahari hilang maka cahayanyapun akan hilang. Matahari dapat dilihat melalui cahayanya, tanpa cahaya, mataharipun tak dapat dilihat”.“Namun cahaya matahari, bukanlah matahari – cahaya matahari adalah pancaran getaran transversal dan longitudinal dari matahari itu sendiri”, jelas Prof.
Prof menyimpulkan, 



“Dan Rasulullah adalah satu-satunya Rasul akhir zaman yang mendapat Nur Ilahi dalam dadanya. Jadi mutlaq jika ingin mendapatkan frekuensi Allah, harus melalui nur ilahi yang berada dalam dada Rasulullah yang harus dihubungi".



“Bagaimana cara menghubungkannya, sementara Rasulullah sudah wafat sekian lama?” tanya Bung Karno. 



“Prof menjawab, “Memperbanyak sholawat atas Nabi Muhammad pasti akan mendapatkan frekuensi Beliau, yang otomatis mendapat frekuensi Allah SWT.–Tidak kukabulkan doa seseorang, tanpa shalawat atas Rasul-Ku. 



Doanya tergantung antara langit dan bumi– (HR. Abu Daud dan An-Nasay). Jika diterjemahkan secara akademis mungkin kurang lebih : “Tidak engkau mendapat frekuensi Allah tanpa lebih dahulu mendapat frekuensi Rasulullah SAW”.



 Sontak Bung Karno berdiri. “You are wonderful” teriaknya. Sejurus kemudian, dengan merangkul kedua tangan profesor, Bung Karnopun bermohon : “Profesor, doakan saya supaya dapat mati dengan tersenyum dibelakang hari nanti…Amiin!!!

0 komentar:

Post a Comment

 
Ma'unah Sari © 2017. All Rights Reserved. Powered by Ma'unah Sari
Top